Sejarah Soto dan Penyebarannya
Menurut Dennys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, asal mula Soto adalah makanan Cina bernama Caudo, pertama kali populer di wilayah Semarang. Dari Caudo lambat laun menjadi Soto, orang Makassar menyebutnya Coto, dan orang Pekalongan menyebutnya Tauto bahkan beberapa tempat ada yang menyebutnya Sauto.
Antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Dr Lono Simatupang, mengemukakan bahwa, soto merupakan campuran dari berbagai macam tradisi. Di dalamnya ada pengaruh lokal dan budaya lain. Mi atau soun pada soto, misalnya, berasal dari tradisi China. China-lah yang memiliki teknologi membuat mi dan soun, ujarnya.
Soto juga kemungkinan mendapat pengaruh dari budaya India. Ada beberapa soto yang menggunakan kunyit. Ini seperti kari dari India, ujarnya. Karena soto merupakan campuran dari berbagai tradisi, ungkap Lono, asal usulnya menjadi sulit ditelusuri. Soto itu seperti dangdut yang mendapat pengaruh dari berbagai tradisi. Ya, sudah kita terima saja.
Penyebaran soto ke berbagai daerah di Indonesia seiring dengan penyebaran manusia. Makanan yang tersebar itu kemudian bisa diterima di tempat lain. Selain itu, makanan juga menyebar karena ada proses industri. Penyebaran ini, lanjut Lono, diikuti dengan upaya lokalitas. Proses lokalitas soto mungkin sama seperti lokalitas Islam maupun Kristen di Indonesia. Inilah yang mengakibatkan muncul berbagai jenis soto di Indonesia.
Konon, di seluruh wilayah kota Kudus, dan beberapa daerah sekitarnya bahkan di Pekalongan, ada larangan untuk memotong sapi. Budaya ini adalah warisan budaya Hindu Jawa yang menganggap sapi sebagai hewan suci, sehingga tidak boleh dimakan. Walaupun budaya Hindu sudah hilang pengaruhnya sejak kisaran 800 tahun yang lalu, kebiasaan tidak memakan sapi masih diwariskan hingga sekarang. Warisan Hindu yang ada di wilayah Indonesia disimbolkan dengan pilihan daging ayam dan kerbau. Mereka sendiri tidak suka menyantap sapi, namun lebih suka menyantap daging kerbau. Alhasil, segalanya serba kerbau: sate kerbau, pindang tetel daging kerbau, dan tentu saja soto/tauto daging kerbau.
Orang Cina memiliki aturan dalam makan, seperti, larangan makan daging kerbau, larangan menyisakan makan terutama nasi. Aturan itu merupakn aturan lama yang sudah ditinggalkan oleh orang Cina saat ini.
Bumbu-bumbu yang digunakan pun bercita rasa Jawa, seperti penggunaan kemiri dan peresan jeruk limau sebagai kondimen. Penghidangannya bisa dipilih, apakah langsung dicampur dengan nasinya atau dipisah. Penyajian yang asli adalah dimana nasinya langsung dicampur dengan soto, sesuai dengan selera Jawa yang selalu menyajikan nasi sebagai makanan pokok.
Serbuk koya yang juga ditemukan di lontong cap go meh adalah budaya kuliner Tionghoa peranakan. Serbuk ini dibuat dari santan kelapa yang dikeringkan, berfungsi sebagai penyedap rasa dan penambah tekstur. Berbeda dengan soto ayam Lombok di Malang, koyanya disini sudah ditakar dan tidak biasa ditakar sendiri.
Irisan bawang putih yang digoreng kering, juga merupakan jejak budaya Tionghoa. Cara memasak seperti ini jelas merupakan selera Tionghoa, seperti ditemukan di masakan Tionghoa Pontianak. Masakan Jawa biasanya menggunakan bawang merah, bukan bawang putih, untuk digoreng kering dan digunakan sebagai kondimen.
Cara menjajakan dengan pikulan adalah salah satu akulturasi yang terjadi. Pikulan ini sering dipakai oleh orang cina dahulu, namun untuk sejarahnya sendiri kurang diketahui oleh penulis. Saat orang cina bertransmigrasi ke sini orang Cina banyak yang berjualan dengan cara eceran. Orang-orang Cina-lah yang mendistribusikan banyak barang. Jadi, posisi orang Cina kebanyakan sebagai distributor antara orang Belanda sebagai produsen dan orang pribumi sebagai konsumen.
Sumber: http://petakulinerjakarta.blogspot.co.id/2010/02/sejarah-soto-penyebarannya.html
0 komentar